Disaat Hujan Lebat

Itubandar.Com-Cerita Dewasa 2017

Sore ini hujan deras sekali. Istriku, seorang wanita sederhana yg kunikahi 3 tahun yg lalu nampak asyik menekuni kegemarannya mengisi TTS. Ah, mengapa setiap memandang wajah sederhananya selalu terbersit perasaan bersalah? Mengapa tdk bisa kuberikan seluruh cintaku padanya? Hujan memang bangsat. Setiap titik airnya selalu menggoreskan rinduku padanya. Istriku? Bukan, Windi. Wanita yg selama 10 tahun ini dengan setia mengisi satu pojok hatiku. Wanita yg selalu membuatku merasa bersalah pada istriku.Awal perkenalanku dengannya terjadi pada 10 tahun yg lalu. Waktu itu aku harus mengikuti KKN dari universitas paling ternama di Yogyakarta. Pertama kali kenal, aku tdk peduli karena waktu itu aku baru putus dari pacarku. Bayangkan saja 4 tahun aku pacaran dan dia memutuskanku begitu saja.
Windi bertubuh sedang, rambut dipotong pendek ala Demi Moore, wajahnya lumayan manis. Tapi yg paling menarik adalah sinar matanya yg hangat, tulus , bersahabat dan selalu tertawa. Seminggu orientasi aku masih tdk begitu peduli bahkan sering terganggu dengan gaya ketawanya yg begitu spontan. Kebetulan kami satu regu.
“Mas.. mau kopi?” sapaan istriku membuyarkan lamunanku tentang Windi.
Dengan cepat aku mengangguk. Entah mengapa aku kesal karena lamunanku terhenti.
“Aduh… Jon… bagus ya desanya… Uih… kayak negeri para dewa,” Windi spontan berkomentar saat kami tiba di desa yg terletak di lereng Merbabu.
Hm.. bener juga gumanku. Tempat regu kami tinggal adalah rumah kosong di pinggiran hutan karet. Tiap pagi embun turun dan menari di sela-sela hutan karet itu dimana sinar matahari dengan lembut menyeruak di antaranya. Dan setiap bangun pagi, aku selalu dikejutkan senyum Windi sambil menyeruput kopinya (entah jam berapa dia bangun pagi).
“Pagi.. Jon! uh… tadi bagus deh…” dan berceritalah dia tentang kegiatan jalan-jalan paginya.
Entah, akhirnya setiap pagi kami selalu bercerita tentang bayak hal sambil menikmati kopi. Baru kusadari wanita ini di samping begitu mandiri dia juga cerdas luar biasa. Dia bisa bercerita mulai dari Nitsche, harga saham, Picasso, Pink Flyoid sampai kemiskinan. Yg luar biasa dia ternyata pernah mendapat beasiswa pertukaran pelajar, pinter main piano dan bekerja part time (meski dia berasal dari keluarga yg cukup berada). Aku semakin suka berada di sampingnya.
Di mataku kecerdasannya membuat dia begitu menarik, cantik dan seksi. Hingga suatu malam saat kami ngobrol berdua saja di teras dia mengejutkanku dengan pernyataannya,
” Jon… aku ini sudah nggak perawan.” Aku begitu terkejut, bagi orang sepertiku yg dididik sejak kecil bahwa seorang wanita harus menyembunyikan emosinya, pernyataan seperti ini begitu mengguncang emosiku
“Ya… Tuhan… wanita seperti ini yg aku cari…” seruku dalam hati. Betapa jujurnya dia.
Dia bercerita tentang rasa cintanya yg begitu besar pada pacarnya, kesedihannya karena pacarnya tak pernah memintanya menjadi istrinya meski mereka telah pacaran hampir 6 tahun. Tanpa kutahu pasti, aku telah jatuh cinta padanya dan yg menyedihkan aku tdk berani menyatakannya. Aku nikmati saja hari-hari KKN ku. Kami main air di sungai, jalan-jalan. Setiap pacarnya datang, kutekan rasa cemburuku dan sakitku bahkan aku dengan gaya yg sok berbesar hati sering mengantarnya ke terminal untuk pulang menengok pacarnya. Setiap kali sehabis pulang, dengan gaya lucunya dia bercerita tentang persetubuhannya dengan pacarnya. Windi… tahukah kau aku mencintaimu?
Sampai suatu hari, aku dan dia pergi ke kota asalku Solo untuk mencari sponsor bagi pasar murah yg akan kami selenggarakan. Tanpa terasa kami kemalaman.
“Win… kita nginap di rumah ibuku yuk?”
Sungguh! Waktu itu aku tdk punya pikiran apapun. Dan seperti yg sudah kuduga, keluargakupun sangat menyukainya. Bahkan ibuku bilang,
“Dia lain ya sama Rini? Anaknya ramah dan baik”. Ah.. betapa inginnya aku bilang,
“Dia wanita yg kuinginkan jadi istriku, bu”.
“Jon… aku tidur dimana?” tanya Windi.
“Dikamarnya Joni aja, nak. Itu di kamar depan.” ibuku begitu bersemangat menata kamarku.
“Wah… ntar Joni tidur dimana?”
“Biar tidur di sofa ruang tamu”.
Rumah ku memang agak aneh, hampir seluruh kamarnya ada di belakang, hanya kamarku yg terletak di depan.
Malam itu aku gelisah tak dapat tidur. Entah mengapa aku begitu rindu pada Windi. Gila! Padahal seharian tadi aku bersamanya. Seperti ada yg menggerakkan aku pergi ke kamarku di mana Windi tidur dengan memakai daster ibuku!. Nampak tidurnya begitu damai. Ya… ampun baru kusadari betapa besar cintaku padanya. Tanpa terasa aku belai pipinya dengan lembut. Dia menggeliat. Oh.. sungguh seksi sekali.
Tiba-tiba saja tanpa dapat kubendung kucium bibirnya dengan kelembutan yg tak pernah kuberikan dengan pacarku dahulu. Windi membuka matanya, dan baru kusadari betapa indah mata itu.
“Jon?”
Tapi dia tdk berbuat apa-apa. Kembali kukulum bibirnya, diapun menyambut dengan hangat ciumanku. Lidahnya bermain begitu luar biasa di lidahku. Tanpa terasa sesuatu yg keras menyembul dari balik celanaku. Kuciumi dengan hangat lehernya, dia menggelinjang geli. Dibalasnya ciumanku dengan ciuman lembut di leherku, turun ke dadaku.
Lalu dengan gerakan yg begitu lembut, dilepasnya kaosku. Kubalas ciumannya dengan ciuman di dadanya. Ya… ampun… dia tdk memakai bra. Terasa putingnya mengeras dan dadanya begitu kencang. Tanganku masuk dari bawah dasternya. Ugh… dadanya begitu penuh. Gelinjangannya begitu mempesona. Dia begitu meenikmati sentuhanku. Tiba-tiba dia menggerang,
” Don… ah…”. Bagai tersengat listrik, kulepaskan cumbuanku. Ada rasa nyeri menyeruak di dalam dadaku.
Dia menyebut nama pacarnya! Windi pun tersadar.
“Jon… maaf…” segera diambilnya kaosku.
“Pergilah… maaf… aku… aku… kangen sama Don”. Diapun menundukan kepalanya.
Mungkin orang menanggapku gila karena keterusterangannya justru membangkitkan gairahku. Entah aku begitu yakin akan perasanku padanya, rasa cintaku dan aku ingin dia memilikiku. Akan kuberikan keperjakaanku padanya. Ya… aku masih perjaka! Meski aku pacaran serius selama 4 tahun dengan Rini, aku adalah laki-laki yg begitu menghargai keperjakaan. Bahkan aku pernah bersumpah hanya kepada istriku akan kuberikan keperjakaanku. Seperti ada kekuatan gaib tiba-tiba aku bertanya.
“Win… maukah kamu mengambil keperjakaanku?”
“Tapi… Jon?”
“Aku tdk peduli Win… aku mencintaimu… aku ingin kamu yg mengambilnya… aku ingin kamu menjadi istriku” sambil kugenggam tangannya.
Ada buliran air mengalir dari mata bulatnya. Windi hanya terdiam, dan dengan lembut diambilnya tanganku dan dibawanya ke dadanya.
“Kamu begitu tulus…Jon…”. Hanya itu kalimat yg keluar dari mulutnya.
Selanjutnya dia mencium bibirku, pertama lembut sekali tapi makin lama makin liar, dibaringkannya tubuhku di tempat tidur. Lidahnya menjilati belakang telingaku, turun.. keputingku… ke tanganku… lalu turun ke ibu jari kakiku.. ke.. atas… ke paha… ya ampun! Aku belum pernah melakukan ini. Dulu dengan Rini aku hanya melakukan sebatas `pas foto’, itupun dengan baju yg terpakai. Tiba-tiba gigitan kecil dikelelakianku membuatku tersentak, dengan giginya, dibukanya celana pendekku, lalu celana dalamku. Ya.. aku telanjang bulat di hadapannya. Lalu dengan gerakan lembut dia membuka dasternya, lalu celana dalamnya. Aku masih dalam posisi terlentang.
Antara bingung dan gejolak yg luar biasa. Dengan senyum manisnya, Windi menjulurkan lidahnya ke arah lelakianku. Dimainkannya ujung lidahnya di pangkal kelelakianku. Aaggh… ya Tuhan… inikah Surga-Mu? Aku tak mampu berkata apa2 saat mulutnya mengulum kelelakianku sambil sesekali diselang-seling dengan mencepitkan buah dadanya.. Aku hampir saja tak kuat menahan lava di dalam kelelakianku. Tapi di saat aku hampir menyemburkannya, tangannya dengan lembut memijat pangkal kelelakianku itu. Ajaib, lava itu tak jadi keluar meski tetap bergejolak.
Demikianlah… hal tersebut dilakukannya berulang kali. Hingga dia berkata…
“Jon… aku ingin memberimu hadiah yg tak kan kamu lupakan”. Dia lalu duduk di atasku, tepat di atas kelelakianku.
Diambilnya kelelakianku terus dengan gerakan begitu lembut dimasukkannya ke dalam kewanitaanya. Ugh… ah.. erangannya begitu mempesona. Dan akupun memegang pantat bulatnya. Tapi segera dia berkata
” Ssst… I will make you happy Jon!”. Terus dengan gerakan memompa dan memutar, kurasakan seluruh darah mengalir ke bawah.
Keringat membasahai seluruh tubuhnya. Sambil berciuman kurasakan dia memompa kewanitaaanya. Lalu dicengeramnaya tubuhku kuat-kuat. Aggh.. agh… seluruh ototnya meregang. Putingnya tegak berdiri dan disorokannya ke mulutku. Lalu dengan keliaran yg tak kubayangkan sebelumnya kulumat habis puting itu sambil membalas pompaannya.
“Ah… terus.. Jon.. terus… jangan berhenti” rangannya semakin mebuatku liar.
“Lagi… Jon.. lagi… ini ketiga kalinya… ayo Jon…” Dan tanpa dapat kutahan lavaku menyembur.
Windi segera menariknya keluar. Lalu dijilatinya cairan lava itu. Kenapa dia tdk jijik? Dengan senyum manisnya seakan dapat membaca pikiranku.
“Nggak Jon… aku ingin membuatmu senang”. Ya Tuhan, aku sangat terharu mendengarnya.
Bagiku dia telah menjadi istriku. Malam itu, kami tiga kali bercinta dan ketiganya Windi yg `memberiku’. Hm… aku berjanji, suatu saat aku akan memberikan `sesuatu’ yg sangat hebat…
“Mas… kopinya kan sudah dingin. Kok nggak diminum?” Ah…lagi-lagi sapaan istriku membuyarkan lamunanku. Windi… dimana kamu sekarang (istriku)?
“Pada sepi yg tiba Keyakinanku yg rapuh Kuusik sendiri: Wajahmu tak tahu berjanji Dalam sinar baur kabur Dan bunyi seretan sandal Kusumpahi engkau Yg terus membuntutiku Membuntukan seluruh perjalananku…”
Hutan karet itu masih seperti dulu. Bau tanah basahnya, getah karetnya, bahkan dangau tempat para pemanen karet beristirahatpun masih ada di tepinya. Neni istriku tampak sesekali merapatkan pegangannya di pinggangku. Langit sangat gelap, mendung menari dengan seenaknya dan membawa udara dingin menerpa perjalanan kami menuju rumah kepala desa tempatku dulu KKN dan motorku dengan usia rentanya nampak terpatah-patah mendaki jalanan yg berbukit. Ah, semoga kami belum terlambat menghadiri pemakaman kepala desa yg baik hati itu.
“Kenapa sih mas… motor butut ini nggak dijual saja. Beli motor Cina juga nggak apa-apa.” keluh istriku.
Dan seperti biasanya aku hanya terdiam tak tahu bagaimana cara menerangkannya alasanku sesungguhnya
“Ha.. ha.. Jon… ini sih sepeda onthel bukan motor” tawa lepas Windi waktu motorku mogok di jalan dekat hutan karet itu saat itu.
“Biarin, kenapa kamu mau aku goncengin?” Aku pura-pura marah. Mendengar nada suaraku yg kelihatan kesal.
Mata Windi yg bulat segera membelalak dengan lucunya.
“Ah.. kamu nggak asyik. Gitu aja marah” Dia gantian memberengut dan mulutnya terkatup rapat. Garis mukanya mengeras, dahinya mengrenyit.
Lho? Aduh gimana nih? Sumpah, aku tdk bermaksud membuatnya tersinggung. Aku kelabakan
“Ngg… anu. Win… aku… aku… maaf… tadi… ngg” Aku tdk bisa meneruskannya karena tak tahu harus bagaimana. Sungguh mengapa aku begitu takut membuatnya marah, takut dia tak mau lagi bersamaku. Saat aku bergulat dengan kekawatiranku, tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di pipiku
“Mmuah!” Windi menciumku sambil terkekeh-kekeh geli karena berhasil mengecohku. Antara lega, kaget, senang dan malu.
Terlebih beberapa penadah karet yg berpapasan dengan kami nampak jengah dan malu melihat kespontanannya yg tak bosan-bosannya memukauku.
“Win.. sst.. ntar dilihat orang”
“Ha.. ha… biarin! ha.. ha… gotcha! Takut aku marah ya? He.. he…” Dia masih ketawa geli.
Begitu menggemaskan, ingin rasanya kupeluk erat-erat. Segera kuusap-usap rambutnya yg mulai memanjang dan awut-awutan itu dengan penuh kasih.
“Sayang ya?” tanyanya manja (baru kusadar, dia tdk penah menampakkan kemanjaan ini kepada siapapun selama kami KKN.
Beginikah dia sama Don? Persetan! Segera kuusir perasaan buruk ini). Kupandang dalam ke mata lucunya. Aku tahu pasti, dia bisa membaca apa yg terukir indah di dalam hatiku.
Hujan tumpah tanpa terbendungkan lagi. Angin menjadi semakin kencang seolah mengejek motorku yg semakin terseok.
“Nen.. kita berteduh di dangau itu saja” segera kupinggirkan motorku ke dangau di tepi hutan itu.
Daun kelapa kering yg menjadi atapnya nampak koyak di beberapa bagian. Tapi masih lumayanlah di pojok sebelah kanan masih ada tempat yg kering.
Sebelum kami duduk di bangku bambu yg sudah tampak lusuh dan banyak sisa pohon kering, kubersihkan bangku itu dengan tanganku, dan dengan ketergesaanku itu mengakibatkan sebuah paku kecil yg menyembul menyayat jari telunjukku. Darah segar segera mengalir.
“Oouch!”
“Jon… aduh… tanganmu berdarah” Windi berteriak dengan kecemasan yg tak dapat disembunyikannya.
Segera diambilnya jari telunjukku dan dikulumnya di bibirnya yg tak tersentuh lipstik. Pemandangan di depanku membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. Begitu indah, begitu ingin kubekukan dan kubingkai selamanya. Rambut dan mukanya yg basah karena guyuran hujan membuat bibirnya sedikit kebiruan. Celana jeans dengan dengkul sobek plus kaos putihnya basah kuyup dan membuat lekukan di dadanya menjadi sangat jelas. seksigo
Warna hitam dari branya memberi aksen pada lukisan indah dihadapanku ini. Dengan perlahan dan lembut dikulum dan disedotnya darah dari jariku. Kurasakan di ujung jariku kelembutan lidahnya menyentuh lukaku. Perih yg tadinya begitu kuat menggigit ujung jariku secara perlahan berganti menjadi kehangatan yg menjalari seluruh ujung kepekaanku. Masih kurasakan kebahagiaan yg kuperoleh beberapa hari yg lalu di rumahku saat kami menginap. Aku rindu sentuhannya, aku rindu….
“Nah… sudah mendingankan?” jariku yg dicabut dari mulutnya membuyarkan kenanganku. Ada sedikit rasa kecewa di perasaanku. Tapi rasa maluku mampu menekannya dalam-dalam. Entah, sejak kejadian di rumahku itu, aku merasakan kedekatan yg luar biasa di antar kami. Windipun semakin jarang membicarakan Don, meski dihadapan teman-temanku seregu dia nampak dengan sengaja melontarkan kerinduannya pada kekasihnya itu dengan ujung mata yg sesekali mencuri pandang ke diriku. Kekasihnya? Siapa? Don? Aku? Aku takut dengan jawaban pertanyaan itu dan aku tdk pernah mempertanyakannya. Aku hanya yakin, Windi juga melakukannya dengan hatinya.
“Hey.. jangan melamun dong, Mas!” sapaan istriku lembut tapi kurasakan ada kejengkelan di dalamnya.
“Nggak… cuma hujan kayak gini pasti lama… kita terjebak di sini nih!” sambil kupeluk istriku.
Ada rasa syukur yg besar saat hujan turun dengan derasnya diiringi angin besar. Windi merapatkan duduknya sambil tak bisa menyembunyikan gigilan dingin yg menerpanya. Sepenuh hati segera kupeluk karunia indah ini dan kuberikan seluruh kehangatan jiwaku padanya. Kurasakan balasan pelukannya begitu lembut tapi tegas. Dengan rasa sayang yg luar biasa kucium rambut basahnya. Nampak dia terpejam menikmati rasa sayangku itu.
Tanpa sadar kuteruskan ciumanku di telinganya, dia mengelinjang kegelian, kutelusuri belakang telinganya dengan ujung lidahku, kemudian lehernya. Dia lalu menengok dan dengan hangat diciumnya bibirku. Lidah-lidahnya bermain di rongga mulutku dan tangan kanannya mengambil tangan kiriku untuk diletakkan di atas dadanya. Hujan yg semakin deras melarutkan percumbuan kami.
Ditariknya mulutnya dari mulutku
“Jon… tapi nggak usah main ya?”. Dengan kelu kuanggukkan kepala.
Windi kemudian pindah ke depanku menghadap ke arahku, bra hitam basahnya yg nampak samar di kaos basahnya tepat di hadapanku. Disorongkannya dadanya ke mulutku, segera kulumat kaos basah itu sambil mulutku sesekali menggigit lembut ke dua bukit indahnya.
Sambil memekik kecil karena gigitan itu ditariknya kasonya ke atas, nampak bra hitamnya memiliki bukaan di depan. Dibukanya bukaan itu. Ya ampun, kedua bukit itu tegak berdiri dengan puncak hitamnya yg mengeras (entah karena kedinginan atau keinginan). Kulahap habis kedua puncak hitam itu bergantian. Kugigit-gigit lembut dan Windipun mengelinjang kegelian. Kuremas-remas pantatnya yg tergolong besar itu sehingga dia dengan gerakan yg begitu ekspresif semakin menyorongkan dadanya ke mulutku. Kedua bukit itu makin keras.
Tiba-tiba dengan gerakan yg agak kasar ditariknya kedua dadanya dari mulutku. Windi segera berjongkok, dibukanya risleting celana jeansku dan dikeluarkannya kelelakianku, segera dilumatnya kelelakianku dengan gerakan yg menagihkan. Digigit-gigit kecilnya ujung kelelakianku, ditelusurinya batang tubuhnya dengan ujung lidahnya hingga ke pangkal. Gelinjang sensasi kenikmatan yg kurasakan membuatnya mempercepat gerakan makan es krimnya.
“Ugh… ah…… akhhhhhhhh… Win.. ahhhhhhh” tak mampu aku berkata apa-apa.
Lavaku sudah mendekati puncak dan Windi akan menekan pangkal batang kelelakianku bagian bawah, tiba-tiba…
Grung… grung… suara mobil membuat kami bagaikan kesetanan segera membenahi baju kami. Dengan napas tersengal, kami segera duduk sambil ngobrol yg tak jelas.
“Mbak.. Mas… bareng aja yuk?” pak lurah yg baik hati itu menghentikan mobil kijang bak terbukanya. Dengan senyum sedikit kecut kami terpaksa numpang mobil itu dengan motor tuaku nangkring di bak belakang.
“Win.. aku pusing!” bisikku. Windi hanya mengangguk sambil jarinya meremas jemariku.
“Yah… memang hujan seperti ini membuat kita gampang masuk angin, pusing. Nanti sampai di rumah biar ibunya anak-anak bapak suruh ngerokin nak Joni.” Pak lurah yg baik hati itu dengan polosnya menyahut.
Aku dan Windipun berpandangan dengan senyum antara geli dan kecut.
“Kematian adalah tantangan, kematian mempertegas kita untuk tida melupakan waktu, kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga bahwa…. kita saling mencintai…”
Rumah pondokan KKNku juga masih seperti dulu. Dinding batakonya, kedua kamarnya (satu untuk Windi dan Santi, sedangkan yg lainnya untuk Hendra, Made, Sugeng dan aku. Ah… teman-teman sereguku itu juga tak kuketahui rimbanya kini…) kini ditempati keponakan pak lurah yg baik hati itu. Rumah pak lurah hanya beberapa ratus meter dari rumah itu. Bu lurah dengan mata yg masih sembab menyambut kedatanganku dengan keharuan yg mendalam. Kukenalkan Neni, kemudian kusalami dia. Masih kurasakan kehangatan perhatiannya saat mengerokiku dulu ditangannya
“Makanya mas Joni… mbok motornya diganti saja. Kalo gini kan kasihan mbak Windi nggak bisa nonton ke Salatiga sama mbak Santi dan yg lain. Mereka tadi nunggunya lama lo… mas Made yg ngusulin ninggal. Marah lo dia” sambil sesekali dipijitnya tengkukku.
Sambil tersenyum menahan kerokan yg tak kuinginkan ini aku hanya diam saja. Kalau kutanggapi bisa-bisa sampai subuh bu lurah yg masih menyisakan kecantikan masa mudanya ini tak bisa menghentikan obrolannya. Padahal aku begitu ingin segera kembali ke pondokanku menyusul Windi yg tapi pura-pura pamit menyelesaikan persiapan mengajarnya di SMP desa. Akhirnya siksaan kerokan itu berlalu, sambil pura-pura mengantuk karena Procold aku bergegas ke pondokanku.
“Nen.. ini kamarku dulu, dan yg itu kamar Santi dan Windi” waktu kusebut namanya ada kelu yg mnyekat di kerongkonganku.
Untunglah keponakan pak lurah segera menyuruh kami minum teh hangat.
“Win… mau teh hangat?” kuambilkan secangkir teh dari rumah pak lurah, jangan-jangan Windi sakit beneran? Ada rasa cemas yg menyusup saat aku masuk kamarnya dan kulihat dia meringkuk tak bergerak.
“Mau dong” sambil mengeliat bangun dari tidur ayamnya.
Syukurlah, dia tak apa-apa. Sesaat setelah menghabiskan teh dia menengadah…
“Jon?” bisiknya
“Ya?”
“Selesain yuk?”. Ah.. betapa inginnya aku agar Neni bisa mengutarakan keinginannya seperti dia.
Segera kukunci pintu depan. Dan dengan setengah berlari aku kembali ke kamar Windi. Begitu kubuka kamar, Windi ternyata telah menanggalkan seluruh celana pendek dan kaosnya. Hanya tinggal bra hitam dan celana hitamnya (aku tak tahu kenapa dia begitu tergila-gila warna hitam, hampir seluruh pakaian dalamnya hitam).
Dengan reflek kubuka bajuku segera kutubruk dia. Windi sedikit meronta dan itu membuatku semakin bergairah. Tak tahu, rasanya kami terburu-buru, mungkin karena rasa takut ketahuan. Windi segera menanggalkan pakaian dalamnya dan segera memintaku untuk memasukkan kelelakianku di lubang kewanitaannya. Entah, aku justru menunduk dan kuciumi dengan lembut. Bau kewanitaan itu begitu khas, aku belum pernah membauinya. Dengan reflek kujilati pinggirannya dan benda kecil yg tampak memerah tegang ditengahnya.
Windi mengelinjang dengan hebat tangannya sedikit menjambak rambutku dan membenamkan kepalaku semakin dalam ke lubang itu. Aku begitu menikmati permainan ini. Sumpah aku belum pernah melihat gambar atau film seperti ini. Semuanya kulakukan dengan reflek naluriku belaka.
Lidah-lidahku semakin liar menari-nari di lubang itu dan kumasukkan semakin dalam dan dalam. Kedua tanganku ke atas memegang bukit indahnya yg semakin keras dan mengeras. Kupelintir kedua puncak hitamnya, kumainkan sampai kurasakan air semakin deras di kewanitaannya. Kujilati air itu, kuhisap, kutumpahi ludahku bercampur dengan air itu. Kuhisap lagi. Kedua puncak hitam bukit indahnya semakin keras kupelintir, kugemggam dengan liar kedua bukit itu, kuremas-remas, kuperas dan…
“aaaaaaaaahhhhh… oh yes… yes. uh…… ahhhh..” panggul Windi dengan sangat liarnya melakukan gerakan memompa. “Oooohhhhh… Yesss!!!!” dibenamkannya semakin dalam kepalaku ke dalamnya. Ya.. Tuhan.. begitu bahagianya diriku melihatnya begitu puas.
Segera kucabut lidahku dan dengan ujung lidahku kujilati seluruh tubuhnya. Windi semakin menggelinjang, kulumat habis kedua bukit indahnya dengan puncak yag begitu keras. Ah… aku tak kuasa menahannya lebih lama dan…
Blesss!!! Kumasukkan kelelakianku ke dalam kewanitaannya. Dipegangnya kedua pantatku dan ditariknya ke dalam lubang itu semakin dalam. Sambil kulumati kedua bukit indahnya, kelelakianku terus mempa dengan rasa cintaku yg luar biasa.
“Jon… ayo… Jon… ah… terus… terus.. oh yesssss!” saat itu kusemburkan lava kelelakianku di atas tubuhnya. Segera dioles-oleskannya ke seluruh tubuhnya. Ah betapa cantik dan seksinya dia…
Saat Santi dan teman-temanku pulang, Windi sudah tertidur kelelahan. Dan aku pura-pura nonton TV di rumah pak lurah. Waktu teman-temanku menceritakan betapa hebatnya film yg ditonton. Aku hanya pura-pura kesal dengan kebahagiaan yg tak terkira.
“Mas.. pulang Jon.. udah sore nih…”
Angin senja membawaku kembali ke Solo sambil masih terngiang dengan jelas bisikan Windi sesudah mengakhiri permainan kami.
“aku ini badai dan samudera, hutan tergelap dan pegunungan terjal dan liar….. betapa inginnya kualamatkan selalu kerinduanku pada tempat ini”
Chapter 3
Telah sebulan KKN selesai. Dan selama itu pula aku tdk bertemu dengan Windi. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Bambang dan Panca, teman-teman sekontrakanku sampai heran dengan diriku yg tiba-tiba menjadi pemarah dan sensitif. Akhirnya aku ceritakan bahwa aku jatuh cinta dengan perempuan itu. Saat kutunjukkan fotonya, Panca begitu terkejut ternyata Windi teman basketnya di tim universitas.
“Wah… kamu pinter milih, Jon! Kalo dia aku ya mau juga,” jawabnya terkekeh
Aku tahu saat ini pasti Windi sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri. Panca jadi heran dengan perubahanku yg begitu tiba-tiba. Aku jadi lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yg telah sekian lama terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm… siapa tahu Windi ke sana).
Sudah beberapa kali aku coba ke rumahnya yg sangat besar di utara Yogya itu. Tapi mobil Don yg sering nongkrong di depan rumah itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Jon! Entahlah. Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yg duduk tekun di pojok membuat wajahku pias. Windi? Dia duduk sambil memelototi buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.)
Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok kecerdasan yg luarbiasa digabung dengan keperempuanan yg menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa.
“Hei!”
“Hey!” jawabnya datar.
“Sedang apa?
“Berenang!” jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya.
Biar ada bom meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia tak bergeming sedikitpun. Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke arah kami, Don!
“Hey.. Jon? sudah lama?” sapanya hangat Aku hanya mengangguk dengan senyum yg pasti begitu aneh.
Windi segera bangkit.
“Yuk Don pulang… pulang dulu ya Jon!” tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi begitu saja. Aku hanya terbengong dan kelu.
Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan kilat yg luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Bambang menggedor pintu kamarku.
“Jon… aku berangkat dulu, pulangnya mungkin bulan depan,” pamitnya.
Ya ampun baru aku ingat sore ini dia mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya.
” Ya… hati-hati… salam buat Tasya!”.
Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih ? “Ngapain Mbang? Ada yg ketinggalan?”
“Ngg… anu Jon ada tamu!”
Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Windi! Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di pundaknya ada ransel yg lumayan besar. Mau ke Merapikah?
“hey… boleh nginap di sini?” tanyanya cuek dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar.
Ah anak itu memang penuh dengan kejutan. Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan Bambang yg terburu-buru pergi.
“Mama nyusul Papa ke New York. Don pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal. Males di rumah. Sepi!” seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan tubuhnya ke kasur yg tergeletak begitu saja di lantai.
Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut sendiri di rumahnya yg super besar itu.
“Sampai kapan?” tanyaku sekenanya.
“Tahu! Mungkin sebulan. Kalo mama dan papa sih lima minggu. Soalnya mereka mau ke Eropa sekalian. Nengokin om Jon, adik mama di Paris. Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!” dia lalu membalikkan tubuhnya .
Kalau tdk ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.
Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tdk sedetikpun konsentrasiku ke proposal yg aku bikin. Sialnya dosenku itu justru malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yg salah. Saat sesi itu selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Windi di rumah kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman kesukaan Windi).
Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Windi ketiduran. Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku. Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar dari tempatnya karena ketakjubanku.
Beberapa lilin yg mengapung di tembikar yg penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room? Windi dengan rok terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yg sering memakainya di Malioboro.
Tampak kedua dadanya penuh dan kedua puncak hitamnya yg menonjol menyadarkanku bahwa dia tdk memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah… pantas bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yg kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu “Lady wants to Know” mengalun, Windi memegang tanganku.
“Shall we dance?”. Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan ketakjuban yg masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan yg tak kunjung usai.
Harum parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali kucium tangannya yg kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya yg tadinya rebah di dadaku.
“Bercintalah denganku? Setubuhi aku dengan jiwamu… Bawalah aku ke dalam darahmu Biarlah aku terus menjadi hantu yg selalu menghuni satu sudut ruang hatimu…” bisiknya lembut.
Kata-kata itu bagaikan sihir yg membutakan seluruh sendi kesadaranku. Tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut kedua dadanya. Bibirnya yg penuh kukecup dengan penuh kasih lalu segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan kepasrahan yg penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam kepolosan yg purba.
“Please… explore me!” rintihnya saat kujilati bibir kewanitaannya.
Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yg selalu kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu dalam plastik dan kubanting ke lantai.
Gedubraaaak!
“Suara apa itu?” pekiknya kaget.
Pertanyaan itu tdk kujawab dengan jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya.
“Arrgh.. ah… ugh.. ugh!” dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi itu.
Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yg sangat kaku mengeras dia mengaduh
“Uuuh… hisap… please!” rintihnya.
Lalu kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya. Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yg tak pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tdk sebebas di kontrakkanku).
“Arrgh.. uh.. oh… yessss… oh… ah.. great… baby…” saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku.
“Please Jon… setubuhi aku.. ayo…. ah….” tapi aku tdk melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku.
Karena kedua tangannya masih terikat dia tdk bisa memegang kepalaku untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam… dan dalam…
“Aaaaaaaaargh!… argh….oh yesssssssssssssssss!” Kuhisap, kulumat dengan keliaran yg tak terkendali.
Persetan dengan yg mendengar saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Panca. Benar, mungkin karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu, semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang kewanitaannya.
“Oh yesssssssss!… arghhhhhh!” dia tak bisa bebas meronta, hanya panggulnya yg diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin dalam.
Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yg bersamaan akupun bisa memainkan lidahku di kewanitannya.
“Ahh.. uh… ah…” begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya.
Kedua bukit indahnya yg menggantung segera kuremas dan kupilin keras.
“Auw….” Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya terlalu keras.
Windi semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yg bersamaan kami mencapai sensasi erangan yg memekakkan.
“Aaargh… oh YESSSSSSSSS!” lava yg begitu deras keluar dari kelelakianku, segera direguknya cairan itu.
Oh indah luar biasa… Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta hingga pagi menjelang.
Sudah hampir 2 minggu ini Windi tinggal bersamaku. Selama itu pula erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi seuatu yg biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi, siang dan setiap malam. Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat menjadi ‘ranjang’ kami (tentunya saat Panca pergi).
Panca sudah terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya. Pancapun hanya menggerutu, “Huh… jadi kambing congek nih…” Lalu kamipun hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang kami segera masuk kamar. Biasanya Windi masih sempat menggoda Panca dengan kenakalannya.
“Hey… jangan pengin lho Pan?”
“Huh cah edan!” sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
“Tereaknya jangan kenceng-kenceng!” lalu erangan-erangan hasratpun kembali menguak di antara keringat-keringat kami.
Hari-haripun berlalu demikian indahnya. Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
“mau ke mana Win…?”
“Pulang,” Jawabnya pendek.
“Mama Papa udah balik?” dia hanya menggeleng.
“Besok Don pulang!”
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yg tiba-tiba meyerang. Tdk, aku tdk marah kepadanya, aku hanya marah dengan situasi ini.
“Tinggallah bersamaku,” pintaku.
Kurasakan ada nada putus asa di dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
“Tdk. Don akan marah kalau ke rumah aku nggak ada”. Don, lagi-lagi Don!
Kenapa nama itu tdk hilang dari hatinya. Tdk puaskah dia dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku meninggi.
“Tdk! Kau harus tinggal!” melihat perempuan itu tetap menggeleng aku semakin tak terkendali. Yg ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yg kusesali hingga saat ini:
“Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Win!”
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Windi berteriak kesakitan karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tdk peduli dan dengan sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tdk pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.
“Oh..jangan…” Teriakannya semakin membulatkan niatku.
Setelah semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras dari kedua mata indahnya. Ya… Tuhan Apa yg telah kuperbuat terhadap perempuan yg sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa berkata sepatahpun dia segera meberei tubuhnya dan sambil membawa bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di tengah guyuran hujan yg turun dengan tiba-tiba, menjadi saat terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ….
Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke rumahnya, tapi hanya pembantunya yg keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan lainnya. Win… aku hanya minta maaf. Di hari wisudanyapun ternyata dia tdk datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Windikah? Begitu kubuka ternyata Don. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku. Don hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat,
“Goblok! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yg merusaknya”.
Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Windi!
“Don-ku sayang…
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku ini. Don, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yg ingin kuberikan seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tdk menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku…. Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Joni (Ah alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan Joni). Aku juga menginginkan hidup bersamanya.
Dan itu tdk adil bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yg tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya. Tapi ternyata rasa cintanya begitu ‘menyesak’kan ruangku. Akupun tdk bisa hidup dengan cara itu.
Don, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Joni, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tdk bisa merasakan perasaanku kepadanya… just take care of yourself. Windi.”
Aku hanya termangu. Karena itu setiap tahun aku pasti menyempatkan pergi ke hutan karet itu dengan seribu satu alasan ke istriku